Turkish delight in Turkish plight

Buku ini bukan buku penjelasan travel di Istanbul, Turki. Bukan pula buku sejarah Turki dan Kerajaan Ottoman yang jatuh. Buku ini adalah surat cinta Orhan Pamuk kepada Istanbul, kota yang dulunya merupakan ibukota Turki ketika Turki berada di puncak kejayaannya, sebelum gerakan sekularisme menang dan ketika raja-raja Ottoman berkuasa.

pamuk

Orhan Pamuk adalah pemenang Nobel bidang sastra. Kebanyakan bukunya adalah fiksi, dan ditulis dalam bahasa Turki. Yang saya baca adalah terjemahannya ke dalam bahasa Inggris. Meski tersohor karena karangan fiksinya, buku Pamuk yang pertama saya baca ini justru merupakan nonfiksi. Buku ini sesungguhnya autobiografis, tetapi lampu sorot justru bukan paling terang pada kehidupan pribadi seorang Orhan Pamuk. Tentu, Pamuk berkisah tentang dirinya. Namun selalu dalam kaitan dengan Istanbul dan keindahannya yang kini sudah rongsok.

Karak%25C3%25B6y+and+Galata+Tower+Istanbul+Turkey.JPG (1600×1200)

Kekuatan Pamuk adalah deskripsinya (untung penerjemahnya mampu menangkap deskripsinya dengan luar biasa baik). Kala membaca buku ini, saya serasa sedang berjalan di tengah reruntuhan kejayaan Istanbul, di tengah mantan ibukota kerajaan yang kini mengalami modernisasi yang tak mampu menandingi negara-negara maju lain di dunia. Menikmati corak aristektur Islamnya di tengah penggalakan paham sekularisme yang ditancapkan oleh Ataturk. Lebih daripada itu, saya bisa turut merasakan mirisnya perasaan Pamuk serta penduduk Istanbul lainnya; melihat bukti keagungan mereka dulu dalam reruntuhan peninggalan Kerajaan Ottoman bersanding dengan kenyataan ketertinggalan mereka sekarang. Dulu mereka memimpin dunia, diprediksi akan menjadi kota yang maju, pusat dunia, dan lihat di mana mereka sekarang.

Pamuk mencintai Istanbul apa adanya. Yang rusak dan rongsok dan tidak sempurna. Dalam banyak hal, rasa seperti inilah yang saya miliki terhadap Jakarta. Membaca buku yang penuh melankoli dan romantisasi terhadap Istanbul ini, saya jadi bermimpi untuk suatu hari nanti menulis buku serupa tentang saya dan Jakarta. Sayangnya, kelemahan saya dalam menulis adalah deskripsi. Yah, boleh lah bermimpi. Saya pasti akan membeli karya Pamuk lainnya, dan Istanbul telah menjadi salah satu buku favorit saya. Lengkap dengan foto-foto yang hitam putih, sendu menyergap saya kala membaca buku ini. Sendu yang anehnya menenangkan.

Istanbul yang berwarna-warni sekaligus kelabu, yang dipenuhi bangunan modern efisien sekaligus sesak oleh arsitektur Kerajaan Ottoman. Pamuk larut dalam melankoli. Ia bahagia dalam kepedihannya.

Leave a comment