The consequence of judging a book by its cover

Pernah saya singgung sebelumnya bahwa saya memiliki kebiasaan menilai buku dari sampulnya. Kali ini, saya terjebak kebijakan itu.

y

Menurut saya, sampul buku di atas lucu banget. Apalagi saat membaca ringkasan cerita di baliknya, saya lumayan tertarik. Fiksi ilmiah tentang dunia mimpi melebur dengan realita. Ya sudah saya beli meski mahahahahahal.

Lalu menyesal.
Ya tidak sejelek itu, sih. Tetapi di bawah ekspektasi saya. Saya menyukai hal-hal yang berbau Jepang, maka ekspektasi saya sudah agak tinggi begitu melihat bahwa pengarangnya adalah seorang Jepang. Namun ternyata, ceritanya biasa saja dan pembangunan konfliknya tidak berhasil melibatkan emosi saya.

Deskripsi mimpi-mimpi buruknya sebenarnya lugas, namun penyampaian alur yang terkesan melompat-lompat dan terlalu cepat membuat adegan mimpi buruknya tidak klimaks. Teknologi yang digunakan dalam buku ini juga agak dipaksakan, padahal menurut saya suatu kisah fiksi ilmiah hanya sebagus penjelasan masuk akal dari teknologi fiksinya. Kalau saya tidak percaya bahwa teknologi itu mungkin saja ditemukan, artinya fiksi ilmiah itu sudah gagal.

Buku ini ternyata sudah diadaptasi menjadi film anime. Saya lebih tertarik menontonnya, karena katanya animasinya indah. Cerita ini memang sepertinya akan lebih kuat bila disajikan secara visual, karena kekuatan buku ini terletak pada imaji-imaji menakutkan mimpi buruk para tokohnya. Selain itu, ketidakpuasan saya bisa jadi disebabkan oleh terjemahan yang tidak begitu bagus (Paprika ditulis dalam bahasa Jepang dan saya membaca versi bahasa Inggrisnya).

Apakah saya akan menjadikan Paprika pelajaran? Apakah saya akan mengurangi penerapan kebijakan menilai buku dari sampulnya? Sepertinya tidak, sih. Saya akan tetap menilai buku dari sampulnya, dan saya siap menghadapi segala konsekuensi yang menghadang.

Leave a comment