Oops I Did It Again!

Buku yang belum saya baca masih menumpuk. Menumpuk tinggi parah. Menggunung, bahkan (setinggi 60 buku lebih). Namun saya memang agak sakit, karena setiap masuk toko buku, saya akan lepas kendali. Saya tahu di otak saya bahwa saya tidak boleh membeli buku lagi, namun badan saya seperti bergerak sendiri, memilih buku dan membawanya ke kasir lalu membayarnya. Ini pasti karena harum buku yang memabukkan. Dan karena menjelajahi dunia melalui buku yang bikin nagih.

Ini belanjaan saya akhir Oktober lalu:

816697952.jpg (600×449)

Baru satu yang saya baca, kemarin saya sudah membeli ini:

BdithMvIQAENdu7.jpg (600×450)

Saya tidak ada bedanya dengan cewek-cewek yang saya cibir karena menghabiskan banyak sekali uang dalam sekali belanja baju.
Karena saya pun menghabiskan banyak sekali uang yang tidak normal juga setiap belanja buku.

Saya. Butuh. Rehabilitasi.

The consequence of judging a book by its cover

Pernah saya singgung sebelumnya bahwa saya memiliki kebiasaan menilai buku dari sampulnya. Kali ini, saya terjebak kebijakan itu.

y

Menurut saya, sampul buku di atas lucu banget. Apalagi saat membaca ringkasan cerita di baliknya, saya lumayan tertarik. Fiksi ilmiah tentang dunia mimpi melebur dengan realita. Ya sudah saya beli meski mahahahahahal.

Lalu menyesal.
Ya tidak sejelek itu, sih. Tetapi di bawah ekspektasi saya. Saya menyukai hal-hal yang berbau Jepang, maka ekspektasi saya sudah agak tinggi begitu melihat bahwa pengarangnya adalah seorang Jepang. Namun ternyata, ceritanya biasa saja dan pembangunan konfliknya tidak berhasil melibatkan emosi saya.

Deskripsi mimpi-mimpi buruknya sebenarnya lugas, namun penyampaian alur yang terkesan melompat-lompat dan terlalu cepat membuat adegan mimpi buruknya tidak klimaks. Teknologi yang digunakan dalam buku ini juga agak dipaksakan, padahal menurut saya suatu kisah fiksi ilmiah hanya sebagus penjelasan masuk akal dari teknologi fiksinya. Kalau saya tidak percaya bahwa teknologi itu mungkin saja ditemukan, artinya fiksi ilmiah itu sudah gagal.

Buku ini ternyata sudah diadaptasi menjadi film anime. Saya lebih tertarik menontonnya, karena katanya animasinya indah. Cerita ini memang sepertinya akan lebih kuat bila disajikan secara visual, karena kekuatan buku ini terletak pada imaji-imaji menakutkan mimpi buruk para tokohnya. Selain itu, ketidakpuasan saya bisa jadi disebabkan oleh terjemahan yang tidak begitu bagus (Paprika ditulis dalam bahasa Jepang dan saya membaca versi bahasa Inggrisnya).

Apakah saya akan menjadikan Paprika pelajaran? Apakah saya akan mengurangi penerapan kebijakan menilai buku dari sampulnya? Sepertinya tidak, sih. Saya akan tetap menilai buku dari sampulnya, dan saya siap menghadapi segala konsekuensi yang menghadang.

Perusakan film dengan membaca bukunya

Saya tahu saya sangat tidak mudah puas dengan hasil adaptasi buku ke film. Meski saya juga seorang pecinta film, sulit bagi saya untuk menilai suatu film adaptasi buku sebagai satu karya yang berdiri sendiri. Saya pasti akan membandingkannya dengan buku sumbernya. Dan biasanya, saya tidak puas. Biasanya saya akan marah-marah karena menurut saya filmnya kurangajar, mengacak-acak buku yang bagus itu.

Sudah tahu begitu, saya tetap ngotot membaca bukunya sebelum menonton filmnya. Saya seringkali memang sengaja membaca sebuah buku karena tahu akan ada adaptasi filmnya. Beberapa film yang saya caci karena terlanjur membaca bukunya adalah The Hunger Games, Carrie, The Hobbit (ini setengah mencaci setengah tetap suka, sih), beberapa film Harry Potter, The Girl with the Dragon Tattoo, Perahu Kertas, dan tentu saja LIFE OF PI. Gilaaaa buku sebrilian itu menjadi film hepi-hepi tanpa kedalaman psikologis yang menjungkirbalikkan perasaan seperti bukunya.

Karena jarang menemukan film yang berhasil menerjemahkan buku dengan baik, sekalinya menemukan rasanya bahagiaaaa sekali. Yang sejauh ini menurut saya berhasil:

z    zz

Harry Potter and the Prisoner of Azkaban

zzzzz   zzzzzz

Stardust

zzzzzzz   zzzzzzzz

A Clockwork Orange

Dan yang baru-baru ini mengejutkan saya:

zzz   zzzz

The Hunger Games: Catching Fire

Impian baru: mengadaptasi buku yang saya suka menjadi film yang saya suka.

Ohiya hampir lupa! Ada satu lagi adaptasi film yang perfek:

twilight_breaking_dawn_part_2-wide.jpg (2880×1800)

Twilight – menerjemahkan kebodohan bukunya menjadi film yang sama bodohnya.
Hebat ya!

Turkish delight in Turkish plight

Buku ini bukan buku penjelasan travel di Istanbul, Turki. Bukan pula buku sejarah Turki dan Kerajaan Ottoman yang jatuh. Buku ini adalah surat cinta Orhan Pamuk kepada Istanbul, kota yang dulunya merupakan ibukota Turki ketika Turki berada di puncak kejayaannya, sebelum gerakan sekularisme menang dan ketika raja-raja Ottoman berkuasa.

pamuk

Orhan Pamuk adalah pemenang Nobel bidang sastra. Kebanyakan bukunya adalah fiksi, dan ditulis dalam bahasa Turki. Yang saya baca adalah terjemahannya ke dalam bahasa Inggris. Meski tersohor karena karangan fiksinya, buku Pamuk yang pertama saya baca ini justru merupakan nonfiksi. Buku ini sesungguhnya autobiografis, tetapi lampu sorot justru bukan paling terang pada kehidupan pribadi seorang Orhan Pamuk. Tentu, Pamuk berkisah tentang dirinya. Namun selalu dalam kaitan dengan Istanbul dan keindahannya yang kini sudah rongsok.

Karak%25C3%25B6y+and+Galata+Tower+Istanbul+Turkey.JPG (1600×1200)

Kekuatan Pamuk adalah deskripsinya (untung penerjemahnya mampu menangkap deskripsinya dengan luar biasa baik). Kala membaca buku ini, saya serasa sedang berjalan di tengah reruntuhan kejayaan Istanbul, di tengah mantan ibukota kerajaan yang kini mengalami modernisasi yang tak mampu menandingi negara-negara maju lain di dunia. Menikmati corak aristektur Islamnya di tengah penggalakan paham sekularisme yang ditancapkan oleh Ataturk. Lebih daripada itu, saya bisa turut merasakan mirisnya perasaan Pamuk serta penduduk Istanbul lainnya; melihat bukti keagungan mereka dulu dalam reruntuhan peninggalan Kerajaan Ottoman bersanding dengan kenyataan ketertinggalan mereka sekarang. Dulu mereka memimpin dunia, diprediksi akan menjadi kota yang maju, pusat dunia, dan lihat di mana mereka sekarang.

Pamuk mencintai Istanbul apa adanya. Yang rusak dan rongsok dan tidak sempurna. Dalam banyak hal, rasa seperti inilah yang saya miliki terhadap Jakarta. Membaca buku yang penuh melankoli dan romantisasi terhadap Istanbul ini, saya jadi bermimpi untuk suatu hari nanti menulis buku serupa tentang saya dan Jakarta. Sayangnya, kelemahan saya dalam menulis adalah deskripsi. Yah, boleh lah bermimpi. Saya pasti akan membeli karya Pamuk lainnya, dan Istanbul telah menjadi salah satu buku favorit saya. Lengkap dengan foto-foto yang hitam putih, sendu menyergap saya kala membaca buku ini. Sendu yang anehnya menenangkan.

Istanbul yang berwarna-warni sekaligus kelabu, yang dipenuhi bangunan modern efisien sekaligus sesak oleh arsitektur Kerajaan Ottoman. Pamuk larut dalam melankoli. Ia bahagia dalam kepedihannya.

Plato, Platypus, Heidegger, Hippo, Gue, Gakngerti

Kalau ada orang yang sikap tidak berperikebukuan-nya dalam hal melipat atau merusak atau mengotori atau membuat lecek buku, sikap tercela saya adalah menilai buku dari sampulnya. Untungnya (atau sialnya, sih, karena saya jadi beli banyak banget buku), sekarang kebanyakan buku sampulnya bagus.

Maka, karena sampulnya bagus, saya membeli buku filsafat. Whaaatt.

plato platypus Cover.indd

Ya sesungguhnya buku ini tidak seharusnya berat. Justru buku ini ingin menjelaskan filsafat secara ringan, yaitu melalui lelucon. Membicarakan paham eksistensialisme, metafisik, empirisme, dan lainnya melalui anekdot. Tetapi kok…. ini saya yang bodoh atau memang filsafat sulit dimengerti ya. Saya sudah baca berulang kali, tetap saja sulit mengerti secara mantap. Padahal para kritikus memuji buku ini karena berhasil menjadikan filsafat mudah dimengerti. What.

Kalau bagi saya pribadi, pembahasan masing-masing paham terlalu singkat. Sehingga saya hanya mendapat sedikit bayangan, dan sebelum bisa melihat dengan jelas bentuknya, sudah hilang. Jadi penangkapan saya samar-samar. Sebenarnya saat membaca merasa lumayan mengerti, namun saat berusaha mengerjakan tes yang ada di akhir buku…. gagal total.

Pembahasan favorit saya adalah tentang yang tentang kehendak bebas.
“Do you believe in free will?”
“I have no choice but to believe in it.”

Jenius banget. Jawaban yang kesannya kontradiktif itu sesungguhnya benar banget. Kita sebagai manusia tidak memiliki pilihan lain selain harus percaya akan adanya kebebasan memilih. Karena kalau kita tidak percaya akan kehendak bebas, artinya kita percaya bahwa setiap manusia dan hidupnya sudah diatur. Maka para penjahat tidak bisa dikatakan berbuat jahat atas kesadaran sendiri, melainkan karena sudah diatur Sang Pencipta. Jadi, mau tidak mau, kita harus percaya bahwa kita bisa memilih dan memiliki kehendak bebas. Walaupun yaaa sebenarnya kita belum tahu pasti apakah pilihan kita bebas atau sudah ada yang merencanakan. Tetapi tanpa kepercayaan terhadap kehendak bebas, hidup tidak mungkin berjalan karena semua orang hanya akan menyalahkan yang mengatur dari atas.

Nah, kesannya gak penting untuk dipikirkan. Dan mungkin memang tidak. Tetapi saya suka sih, memikirkan hal-hal seperti itu.

Buku Plato and a Platypus Walk into a Bar… membuat saya ingin mengerti lebih banyak tentang filsafat. Tetapi yaelah, dari buku yang katanya ringan ini saja saya sulit meresapi, apalagi dari buku pembahasan filsafat sungguhan ya.

Daripada omong kosong mau baca filsafat serius, saya mau baca ini saja:

pheideggerhippo

Kado ulang tahun dari Kris. Belum saya lepas pitanya sampai sekarang. Tunggu otak saya cukup kuat menampung anekdot bermuatan filsafat dulu.

New Gaiman!

stackkkbukan

Jessica membelikan saya Gaiman sebagai hadiah ulang tahun Juli lalu. Campuran kesibukan dan enggan untuk segera menghabiskan buku karangan Neil Gaiman menunda saya dari membacanya. Tetapi akhirnya saya baca juga baru-baru ini, meski belum tahu kapan Gaiman akan menerbitkan buku baru lagi (pasti masih lamaaaaaa).

Sesuai ekspektasi, sih. Sureal dan absurd dan indah layaknya karangan Gaiman yang lain. Namun biasanya Gaiman selalu melampaui ekspektasi yang sudah tinggi. Kali ini, ia “hanya” memenuhi ekspektasi tinggi itu. Tidak terlalu tebal, memang, sehingga mungkin ruang eksplorasi lebih terbatas.

Ah tapi sudahlah. Saya bagaimana pun tetap suka. Deskripsi absurditas dunia fantasi yang realis adalah kekuatan Gaiman, dan The Ocean at the End of the Lane tidak mengecewakan dalam hal itu. Sudut pandang anak kecil yang polos, terjebak dalam kengerian yang indah, membuat perasaan saat membaca The Ocean at the End of the Lane…..bahagia. Yah, sebenarnya saya selalu bahagia membaca karangan Neil Gaiman apa pun.

Seperti biasa, the less you know about it, the better. Lebih baik tidak mencari tahu inti cerita buku ini sebelum membacanya. Pasti lebih terhanyut dan tertransportasi ke dunia Gaiman yang satu ini.

Satu kalimat yang membekas:
“Books were safer than people anyway.”
Setuju sangat.